Perjalanan, Pengalaman, & Pemahaman Permainan Terindah

  • Niac Mitra vs Arsenal 2-0: Gara-gara Udara Panas dan Lapangan Buruk?

    Niac Mitra mengukir kenangan indah di depan ribuan penggemarnya di Stadion Gelora 10 November ketika sore kemarin agak di luar dugaan menaklukkan klub kenamaan Inggris, Arsenal, dengan kemenangan mutlak 2-0.

  • Mino Raiola, Antara Mulut Besar Donald Trump dan Keberingasan Al Capone

    Dalam rimba transfer internasional dunia, ketika akan terjadi deal antara pemain, agennya, dan wakil klub, biasanya pertemuan terjadi di restoran mahal tertutup, lobi hotel mewah bahkan di kamar tertutup. Namun khusus kepada orang yang satu ini sulit terlaksana.

  • Stan Kroenke: Kapitalis Pemuja Wenger

    Sosoknya kaku, irit bicara, pelit senyum apalagi sampai tertawa terpingkal-pingkal. Tak salah kalau pers Inggris menjulukinya the silent man atau si pendiam. Sorot matanya tajam, gerak-geriknya tanpa ekspresi, pikirannya selalu fokus tanda suka berpikir sesuatu yang menarik minat. Suasana hatinya dingin, barangkali sedingin darahnya, dan kelihatannya orang ini rada susah untuk dijadikan teman atau sahabat.

  • Angela Merkel: Wanita Terkuat di Dunia

    Kiprah nyonya besar yang satu ini tak sampai begitu. Tapi pelampiasannya unik. Satu gerakan moral Angela Dorothea Merkel, Kanselir Jerman sejak 2005, yang jadi hobi dan habit sebab sering dilakukan adalah nyelonong ke kamar ganti pemain!

  • Roger Daltrey: Semangat Highbury Highs

    Malam hari penghujung April 2006, Roger Harry Daltrey tak kuasa menahan kenangan masa lalu. Memori kejayaan bersama Pete Townshend, John Entwistle dan Keith Moon saat mengusung aliran progressive rock lewat band The Who di era 1970-an, kerap kali campur aduk dengan era keemasan The Old Double.

  • Persija, Inspirasi dari Soempah Pemoeda

    Berkat sejarahnya, dominasi Persija di blantika nasional tak pernah lekang dimakan waktu. Catatan fenomenal juga ditorehkan klub berlambang Monas sebagai satu-satunya klub dengan rekor tak pernah terkena degradasi sejak debut pada 1931.

  • Asal Muasal Tiqui-Taca, Sepak Bola Bergaya Geometri

    Medio 1980-an, ketika masih masa anak-anak, kata-kata yang kini dikenal dengan tiki-taka sebenarnya sudah sering dihebuskan para komentator Indonesia dalam beberapa acara siaran langsung Piala Dunia atau Piala Toyota di TVRI. Satu yang paling rajin menurut saya adalah Eddy Sofyan. Dia suka menyebutnya dengan ‘tik-tak’ yang berkonotasi umpan-umpan pendek, permainan tek-tok layaknya karambol atau ding dong.

Big-Match Indonesia Muda vs Jayakarta: Siapa Tahu Ada Keajaiban, Kata Iswadi


Apakah akan terjadi keajaiban malam ini di Stadion Utama Senayan? Mungkinkah Jayakarta melalap Indonesia Muda lebih dari 10 gol dan dengan demikian tampil sebagai juara Galatama karena unggul selisih gol dari Warna Agung?

Iswadi Idris, kapten kesebelasan Jayakarta, sudah menjawabnya seusai akhir pertandingan dramatis melawan Warna Agung, Rabu malam lalu. Ditemui di kamar ganti, Iswadi hanya menggeleng. “Rasanya mustahil,” ujarnya.

Tetapi ketika berbicara di hadapan para pemainnya, pemain merangkap pelatih Jayakarta itu berpendapat lain. “Lupakanlah kekalahan melawan Warna Agung. Kita, semua kita, siapkan diri sebaik mungkin melawan Indonesia Muda nanti. Siapa tahu ada keajaiban,” katanya bersemangat.

“Keajaiban” memang bisa terjadi di gelanggang olah raga menjadi bertambah semarak. Tetapi bagi kita, penonton, kalau toh keajaiban itu terjadi, masih ada yang sama menarik ditunggu.

Tekad Jayakarta untuk mencetak gol kemenangan sebanyak mungkin, berarti mereka harus menyerang all out. Dengan demikian kita bisa harapkan untuk tidak lagi Jayakarta dengan daya serang yang begitu memukau ketika mereka menggulingkan Warna Agung 2-0 dalam putaran pertama kompetisi Maret tahun lalu.

Hanya pernah dua kali kalah, meski gagal menjadi juara, Jayakarta pantas untuk bertepuk dada sebagai kesebelasan dengan reputasi tersendiri. Kedudukan sementara dari clash-nya dengan Warna Agung selama musim 1979/80 pun masih 2:2, dua kali kalah dan dua kali menang.  Karena itu dari Jayakarta masih dituntut oleh para penggemarnya untuk membuktikan “kelasnya” malam nanti. Jayakarta boleh gagal menjuarai Galatama, tetapi be a good loser.
                                                                                 
Start Lambat

Lalu apa kabar dengan Indonesia Muda? Dibintangi pemain-pemain tenar seperti Hadi Ismanto, Dede Sulaiman, Junaedi Abdillah, dan kalau boleh ditambah, Suaeb Rizal, Wahyu Hidayat, dan Syamsul Suryono, klub asuhan pelatih Suwardi Arland ini – meski sering disebut-sebut sebagai salah satu favorit juara – justru amat sering memprihatinkan selama kompetisi.

Dimulai dengan ditahan 1-1 oleh Tidar Sakti di Magelang, IM kemudian dihadang draw lagi oleh Buana Putra dan Arseto, Bahkan lebih tragis lagi, dikalahkan Pardedetex cukup telak di akhir putaran pertama kompetisi. Dan setelah mengalami “debacle” dikalahkan Jaka Utama di Tanjungkarang, Januari 1980, peluang IM menjadi amat samar. Peluang itu kemudian benar-benar sirna ketika minggu lalu Jayakarta dikalahkan Warna Agung.

Tetapi malam ini, tetap ada sesuatu yang pantas untuk diraih IM. Kemenangan atas Jayakarta, berarti akan mengangkat posisi IM ke urutan kedua di bawah sang juara. Ini masih lebih terhormat dari urutan ketiga, sambil menghibur diri bahwa IM adalah satu dari tiga kesebelasan yang pernah mematahkan dominasi Warna Agung.

Dalam putaran pertama kompetisi, IM mengungguli Warna Agung 3-1. Kemenangan terbesar yang pernah dicatat suatu kesebelasan atas Warna Agung. Bahkan lebih kecil dari kekalahan 1-2 yang diderita IM dari Warna Agung di putaran kedua.

Hanya yang menjadi soal, apakah IM akan cukup “lancar” sejak menit pertama pertandingan untuk bisa mencetak kemenangan. Masalah inilah yang nyaris selalu mencemaskan setiap kali IM turun ke lapangan. Rekan saya, Sumohadi Marsis, secara tepat menamakan IM sebagai slow-starter. Entah karena diperkuat oleh begitu banyak pemain veteran, IM sangat sering terlambat hidup kerjasama regunya.

Big-Match Indonesia Muda vs Jayakarta: Siapa Tahu Ada Keajaiban, Kata Iswadi

Cukup sering IM harus lebih dulu diungguli sebelum balik memaksa kemenangan. Melawan Tunas Inti dan Perkesa 78, gol kemenangan itu bahkan baru bisa dicetak di menit-menit terakhir. Andaikata malam ini, IM lagi-lagi begitu terlambat bangkit, sulit mereka harapkan kejadian itu berulang lagi. Pertahanan Jayakarta sama sekali tidak sama dengan Tunas Inti dan Perkesa.

IM sebenarnya pernah membuktikan sebaliknya, menjadi sebuah tim yang agreif sejak awal babak pertama, sebagaimana penampilan mereka melawan Warna Agung, 12 Januari lalu. Atau juga ketika IM menggulung Perkesa 2-0 di putaran pertama kompetisi. IM yang demikianlah yang membuat pertandingan mereka melawan Warna Agung, Januari lalu, akan terus tercatat sebagai salah satu pertandingan paling menarik selama kompetisi. IM yang demikianlah yang juga kita harapkan malam ini.
                                                                        
Lini Belakang

Ketua IM, Dimas Wahab, pernah mengeluh. “Pertahanan kami sebenarnya tidak sejelek diperkirakan orang. Hanya karena pemain lapangan tengah yang kurang taktis membantu pertahanan sehingga kami sering kebobolan,” ujarnya.

Dari jumlah gol, jelas terlihat IM adalah tim yang sebetulnya punya daya dobrak kelas satu. Dalam mencetak gol, IM cukup berpacu dengan Warna Agung dan Niac Mitra. Tetapi karena organisasi pertahanan yang keropos, IM menjadi kesebelasan yang paling banyak kemasukan dari “5 Besar” Galatama.

Sinyalemen Dimas Wahab ada benarnya. Junaedi Abdillah dan Johny Fahamsyah yang sering menjadi pilihan pertama di sektor ini, lemah dalam intersepsi maupun tackling. “Penjelajah” Junius Seba terkadang mempesona tetapi lebih sering tidak konsisten. Dan yang paling mengecewakan adalah Suaeb Rizal dan Wahyu Hidayat.

Pernah bertahun-tahun menjadi “stopper” nasional kelas satu, Suaeb Rizal dikenal tidak saja sebagai perusak yang gigih tetapi juga pembangun serangan yang jeli. Tetapi kini ia nampaknya seperti “terlalu tua” dalam usianya yang ke-31. Serba ragu-ragu, tidak percaya diri, dan lamban.

Wahyu Hidayat ketika memperkuat Persija dan team nasional juga, pernah bermain gemilang sebagai back kiri maupun pemain lapangan tengah bertahan. Namun selama memperkuat IM, Wahyu begitu sering tampil seakan-akan pemain pemula. Makmun dari Angkasa masuk memperkuat IM media tahun lalu dan nampaknya memberi perbaikan di sektor back kanan.Tetapi duetnya bersama Wahyu, sering dibalik-balik oleh IM secara tidak beralasan.

Di jantung pertahanan, Matui yang “all-out” yang ideal. Edy Sabenan yang pernah dikagumi Wiel Coerver, sangat kegemukan. Sedangkan pemain muda Nus Lengkoan, meski berbakat, terlalu banyak yang masih harus dipoles. Saya pernah punya pilihan kwartet belakang IM: Makmun back kanan, Matui “stopper”, Wahyu Hidayat “free-back”, Johannes Auri back kiri. Pemain terakhir ini, terlepas dari segala kekurangannya dalam kelenturan (flexibility), masih yang terbaik dalam pengambilan posisi. Lini empat belakang ini, bila perlu, dibantu Suaeb Rizal sebagai ekstra-stopper.
                                                                                
Hadi Ismanto

Dimas Wahab juga pernah selangit memuji ujung tombak Hadi Ismanto. “Saya heran pemain seperti dia tidak dipilih Coerver dalam SEA Games,” tukasnya. Hadi Ismanto dalam form terbaiknya memang begitu mobil dan eksplosif. Ia juga cerdik dalam membentuk ruangan di kotak penalti atau menyerbu ke kotak penalti. Tetapi juga cukup sering Hadi Ismanto bergerak tak menentu, salah mengantisipasi manuver rekan yang lain.

Di daerah sayap, IM memiliki Dede Sulaiman dan Syamsul Suryono yang pernah menunjukkan diri sebagai yang terbaik di negeri ini. Tetapi sejak dikontrak IM, Mei tahun lalu, anehnya Dede Sulaiman amat jarang mempertontonkan dribbling dan akselerasinya yang mengesankan. Sedangkan Syamsul Suryono yang di awal debutnya sangat gigih dan taktis dalam melakukan “switch”, kini serba ragu-ragu mengambil putusan.

Tetapi saya masih ingin melihat lagi IM dalam kondisi puncaknya, 12 Januari lalu, di mana hanya karena kurang beruntung mereka dikalahkan Warna Agung 2-1. Ketika Wahyu Hidayat dan Junaedi Abdillah, bahkan juga Matui, begitu rajin mendukung serangan yang dibangun di kedua sayap.

Saya masih ingin melihat Junius Seba sebagai penjelajah yang tak mengenal menyerah. Saya masih ingin melihat Hadi Ismanto yang penuh inisiatif. Saya maish ingin melihat Dede Sulaiman dan Syamsul yang lincah serta tajam. Saya masih ingin melihat lagi Junaedi, bahkan juga Johny Fahamsyah, sebagai “pemukul” di mulut gawang lawan. Mengapa bukan malam ini?  (Valens Doy, Kompas Sabtu 19 Januari 1980)

Share:

Iswadi Idris: Kostum PSSI Telah Ditinggalkannya

Seorang pemain paling kontroversial telah mengundurkan diri dari percaturan sepak bola internasional. Iswadi Idris si “L’enfant terrible” telah menyatakan pengunduran dirinya 22 Mei 1980 lalu kepada PSSI dan organisasi pengatur sepak bola nasional itu menyetujuinya disertai ucapan terima kasih.

“Anda tahu kenapa ia melakukannya? Ia sudah memperoleh gantinya di sini,” kata Hari Suharto, seorang pembina sepak bola di Jakarta Selatan. Yang dimaksudkannya “di sini” adalah sebuah meja bilyar di restoran Hotel Tambora, Kebayoran Baru.

Iswadi tersenyum tanpa menoleh kepada pembicara. Hampir tiap pagi kadang-kadang sampai menjelang latihan sore, ia memang menenggelamkan kesibukannya menyodok bola-bola bundar kecil itu. Permainannya sudah memiliki kelas. Melawan pemain-pemain biasa ia selalu memberikan “voor” 20 sampai 30.

Senyuman Iswadi yang khas merupakan isyarat yang mengandung sejuta arti. Tapi siang itu senyumannya adalah untuk mengatakan “tidak”. Dan bukan sekedar menyatakan bahwa bilyat hanya sebagian dari beberapa kegemarannya – di samping catur, bridge, musik, dan membaca “apa saja”. “Sepak bola masih tetap merupakan jalan hidup saya. Saya hanya mengundurkan diri dari kesebelasan nasional. Saya masih tetap bermain dan melatih untuk Jayakarta,” katanya.

“Saya sudah terlalu lama bermain untuk kesebelasan nasional,” katanya untuk menjelaskan pengunduran dirinya. Ada pendapat yang mengatakan bahwa dengan terus menerus bersedia dipanggil PSSI sebenarnya saya melakukan monopoli. Hingga pemain-pemain muda merasa tertekan, seolah-olah kesempatan mereka saya tutupi.

Kuala Lumpur

“Saya tak mau kesan itu berlanjut. Tapi yang juga mendorong saya mundur adalah usia saya. Saya sudah 32 tahun sekarang. Saya rasa sudah waktunya untuk lebih memikirkan keluarga". 

"Satu hal lain yang bisa ditambahkan di belakang deretan alasan pengunduran dirinya itu adalah sejarah. “Saya pertama kali memperkuat PSSI untuk pertandingan internasional di Kuala Lumpur, dan di ibukota Malaysia itu pula saya ingin mengakhirinya”.

Iswadi Idris: Kostum PSSI Telah Ditinggalkannya

Tahun 1967, dalam umur 19 tahun, sebenarnya Iswadi sudah mulai mengenakan kostum PSSI ketika kesebelasan nasional dihadapkan dengan Uni Sovuet junior di Medan. Tapi penampilan pertamanya dalam pertandingan “full internasional” memang baru diperolehnya di Kuala Lumpur, setahun kemudian.

Saat itu permainannya sedang mulai menanjak, kebetulan bersamaan dengan tengah memuncaknya prestasi regu nasional. Di Kuala Lumpur dalam turnamen Merdeka Games itu, PSSI hanya menduduki urutan ke-4, tapi tak lama kemudian di Bangkok, mereka menjuarai turnamen King’s Cup.

Bagi Iswadi sendiri masa-masa itu amat mengesankannya, terutama dalam keberhasilannya menjadi pemain sayap kanan yang dikagumi baik oleh kawan maupun lebih-lebih lawan.

Pasangan bermainnya kala itu adalah Abdul Kadir di sayap kiri, Jakob Sihasale sebagai penyerang tengah dan Sutjipto Suntoro yang menjadi pengumpan serta penyerang-ekstra produktif dari posisinya di lapangan tengah.

Di lapangan tengah itu sendiri masih ada Basri Yusuf dan Surya Lesmana, sedangkan di deretan empat-belakang terdiri atas Yuswardi, Anwar Ujang, Mulyadi, dan Sunarto.

“Saya amat merasakan permainan kami waktu itu sangat kompak.Semua pemain saling mengerti gaya dan kehendak pemain lainnya, hingga kerjasama kami cocok sekali. Ibaratnya, sambil merem pun permainan jalan.”

Setahun kemudian, 1969, mereka kembali ke Kuala Lumpur, dan tidak lagi nomor empat, tapi juara. Sayang, piala yang mereka rebut di Bangkok tahun sebelumnya terlepas, dan harus puas menjadi runner-up.

“Sejak itu hingga awal 1972 pamor kesebelasan PSSI memang menurun. Bahkan dalam turnamen internasional di dalam negeri, Jakarta Anniversary Cup, kami tidak mampu menjadi juara.”

Tapi Iswadi bersama sebagian besar rekan-rekannya di PSSI, masih sempat menikmati hari-hari cerahnya dalam klub Pardedetex di Medan – klub yang dianggap sebagai perintis sepak bola bayaran a la Indonesia.

Iswadi sendiri beberapa kali ikut dipanggil PSSI. Ia baru muncul kembali pertengahan 1972 ketika PSSI disiapkan untuk turnamen Anni Cup. Dengan PSSI masih menggunakan sistem Komisi Teknik yang diketuai Sjarnubi Said, Iswadi cs muncul sebagai juara. Tak lama kemudian di Singapura mereka juga menjuarai turnamen Pesta Sukan, bahkan dalam suatu “All Indonesian Final” karena PSSI mengirimkan dua kesebelasan sekaligus.

Dalam masa “malaise” PSSI di gelanggang internasional sejak 1972 itu, Iswadi masih menikmati karir dengan jalannya sendiri. Selama dua tahun, 1974 dan 1975, ia dikontrak “dengan gaji cukup besar” oleh klub semi-prof di Sydney, Australia – Western Suburbs. Kembali dari sana ia pindah dari klub lamanya, Indonesia Muda, ke Jayakarta dan bersama Anjas Asmara cs mempertahankan gelar juara Divisi I Persija.

Masih dalam grafik naik turun PSSI yang belum juga mampu merebut sesuatu turnamen internasional, Iswadi juga keluar masuk pelatnas. Ia sempat membuat heboh ketika tahun 1977, Ketua Umum PSSI saat itu, Bardosono, menyuruhnya pulang ke Jakarta seusai pertandingan kedua dalam Pra-Piala Dunia 1977 di Singapura, meski kemudian datang lagi dan bermain kembali dalam pertandingan terakhir melawan tuan rumah di mana Indonesia menang 4-0.

Kostum PSSI masih terus beberapa kali dikenakannya, sampai yang terakhir dalam Pra-Olimpiade 1980 di Kuala Lumpur bulan Maret lalu ketika ia bertekad untuk mengundurkan diri dari kegiatan internasional. “Saya mulai di Kuala Lumpur dan saya akhiri juga di Kuala Lumpur. Kebetulan ketika saya berangkat hari itu, 18 Maret, persis kelahiran saya.”

Joel Lambert

Selama 12 tahun ikut serta dalam percaturan sepak bola, tapi Iswadi tidak tahu berapa kali ia memperkuat regu nasional. Juga tak diingatnya berapa gol yang telah dicetaknya. 

Kenangannya lebih melekat kepada Joel Lambert, orang yang mula pertama membinanya melalui klub anak-anak gawang, MBFA, ketika ia masih 9 tahun. “Ia seorang pembina yang luar biasa. Dedikasinya sangat besar dan tanpa pamrih. Kehidupan pribadinya masih tetap sangat sederhana hingga sekarang, sampai setiap kali bertemu, saya malu. Merasa berdosa sebab saya belum juga mampu membantunya.”

Lambert, yang tahun 1973 dipilih para wartawan olah raga Jakarta sebagai Pembina Terbaik, memang dikenal sebagai penemu dan pencetak banyak pemain berbakat yang kemudian menjadi terkenal seperti juga Bob Hippy. Iswadi pun dalam masa itu ikut menjadi juara antar kesebelasan gawang di dalam asuhannya.

Tahun 1961, dalam umur 13 tahun, Iswadi mulai masuk IM yang tempat latihannya kebetulan tidak jauh dari rumahnya di Jl. Kramat Lima, Cikini. Pelatih pertamanya di situ juga masih hangat dalam kepalanya, yakni Murdono yang kini sudah almarhum.

Bahkan dalam klub IM itulah ia menjadi makin matang. Itu pula sebabnya ia suka menghabiskan waktunya di Tambora, tempat rendezvous bagi kebanyakan anggota IM. Tapi ia menjadi besar bukan tanpa dukungan bakat yang diturunkan orang tuanya.

Idris, yang sudah enam tahun meninggalkannya, pernah menjadi pemain sepak bola cukup baik. “Kawan mainnya waktu itu adalah ayah Tan Liong Houw,” kata Iswadi yang hanya mempunyai seorang adik, perempuan, dan kini pun menikah dengan seorang bekas pemain sepak bola.

Ny. Idris pada masa mudanya juga seorang atlit seperti saudara-saudaranya yang lain, meski tak sempat menjadi atlit besar pula. Iswadi yang lahir di Banda Aceh ketika ayahnya menjadi guru SMP di sana, seperti muncul untuk menjadi penerus bakat kedua orangtuanya dalam bentuk lebih lengkap.

Hasilnya kemudian memang terbukti. Tapi menjadi anak laki-laki tanpa saingan, dan besar di kalangan anak-anak Kramat yang keras, agaknya juga mempengaruhi karakter Iswadi. Ia menjadi seorang dewasa yang memiliki cukup kecerdasan – sempat mencapai tingkat III Fakultas Ekonomi extension UI – tapi juga seorang yang nakal, “l’enfant terrible”.

Sikap itu nampak dalam permainannya di lapangan. Dalam masa sesudah Sutjipto mengundurkan diri, ia ganti menjadi motor dalam kesebelasan nasional. Tapi sementara itu ia juga beberapa kali menjadi awal dari terjadinya insiden, bahkan meski ban kapten melingkari lengannya.

Apakah itu ada hubungannya dengan kostum nomor 13 yang menjadi favoritnya? Iswadi menggeleng. “Saya senang nomor itu untuk membuktikan bahwa apa yang dikatakan orang jelek, buat saya justru tidak.”

Tentang kenakalannya itu sendiri ia bilang. “Itu hanya luapan emosi saya di lapangan. Saya tak bisa melihat kawan saya dilukai lawan. Kalau saya membelanya dengan memukul lawan, itu juga karena terpaksa. Tapi selalu, sehabis memukul saya sadar bahwa perbuatan saya itu salah.”

Belakangan ia mulai kurang reaktif. Posisi yang ditempatinya, di barisan belakang, nampaknya mengurangi sikap agresifnya. Juga usianya yang mulai menua, dan keluarga dengan satu anak laki-laki yang ditanggungnya.

Tapi Iswadi masih terus dalam deretan pemain yang patut dipuji otak dan keterampilannya. Istri almarhum pelatih Tony Pogaknik bahkan pernah membuka kembali apa yang pernah dikatakan suaminya tentang Iswadi: bahwa ia sesungguhnya lebih berbakat untuk menjadi pemain belakang, posisi yang baru ditempatinya setelah hampir 10 tahun menjadi penyerang.

“Saya sadari hal itu, tapi saya tidak tahu kenapa. Mungkinkah hanya karena dulu saya mengagumi Tan Liong Houw?” Tapi kekagumannya terhadap Liong Houw hanya sekedar ikut-ikutan. “Saya hanya sekali atau dua kali melihatnya main. Sekarang kalau saya ketemu malah maunya berantem melulu”.

Pemain yang justru dikaguminya sungguh-sungguh adalah Gunther Netzer, pemain tengah Jerman Barat, yang tidak sempat memperkuat regu nasionalnya dalam Piala Dunia 1974. “Ia seorang dirigen. Beckenbauer hanya bermain di barisan belakang. Tapi Netzer, ia menjadi motor dari posisinya di lapanga tengah dengan keunggulannya membaca permainan lawan. Saya coba berpikir seperti Netzer”.

Masa Depan

Netzer kini menjadi general manager klub Hamburg SV, juara Jerman Barat tahun lalu yang kini gagal mempertahankannya. Iswadi masih main untuk Jayakarta sambil melatih. Apakah karirnya akan dilanjutkan seperti Netzer? “Saya belum tahu. Terus terang, sampai sekarang saya masih terus berpikir akan jadi apa nanti. Mungkin tetap di sepak bola, mungkin juga tidak. Tentu saja saya punya ambisi untuk menjadi pelatih nasional. Tapi saya lihat waktunya. Saya kan baru mulai”.

Baru mulai, tapi Iswadi memiliki modal cukup untuk menjadi pelatih yang baik tidak saja dengan pengalamannya sebagai pemain. Ia memiliki sertifikat pelatih dari Federasi Sepak Bola Australia. Tahun 1978 selama satu setengah bulan ia juga sempat menyaksikan dari dekat sistem latihan dalam tiga klub Divisi I Inggris, Derby County, Arsenal, dan Tottenham Hotspur.

Apapun karir yang akan diselaminya kelak, ia mempersembahkannya untuk kebahagiaan keluarganya. Menikah tahun 1972 dengan Esly Pardede yang dikenalnya ketika masih bermain untuk Pardedetex, Iswadi kini memiliki seorang junior berumur 4 tahun, Fanny Irwan. Mereka tinggal dalam sebuah rumah cukup mewah di daerah Rawamangun dengan sebuah Honda Civic di garasinya. “Semuanya hasil saya bermain di Sydney”.

Tapi bukan Sydney yang menjadi kenangan paling manis dalam karirnya meskipun di sana ia sempat terpilih sebagai salah satu pemain terbaik dalam kompetisi liga Australia. Kenangan paling manis buat Iswadi justru di Medan ketika Persija memenangkan turnamen Piala Marah Halim tahun 1977 – hanya tiga minggu setelah kegagalan PSSI di Singapura.

“Di Medan saya rasakan sekali betapa indahnya kemenangan, dan betapa sakitnya kekalahan. Saya begitu dicemoohkan di Singapura, bahkan dengan tuduhan-tuduhan yang menyakitkan. Tapi di Medan saya buktikan bahwa semuanya itu bohong!” (Sumohadi Marsis, Kompas Sabtu 31 Mei 1980). 


Foto: Forza Persija.
Share:

Dikalahkan Malaysia 0-1, Iswadi cs Gagal Rebut Emas Terakhir SEA Games 1979

Indonesia gagal merebut medali emas terakhir SEA Games X ketika regu sepak bolanya dikalahkan juara bertahan Malaysia 1-0 dalam final di Stadion Utama Senayan, Minggu sore kemarin.

Satu-satunya gol yang memenangkan Malaysia dicetak oleh pemain tengah Mokhtar Dahari pada menit ke-17 dengan tendangan tidak cukup keras yang tak mampu ditahan barisan belakang Indonesia maupun kiper Haryanto. Indonesia dengan demikian harus cukup puas dengan medali perak. Sementara Muangthai, yang gagal ke final karena kalah adu penalti 3-1 lawan Indonesia, meraih perunggu.

Di depan hampir 100.000 penonton, medali untuk ketiga kesebelasan tersebut langsung diserahkan seusai pertandingan oleh Wakil Presiden Adam Malik, Menteri P&K Daoed Joesoef dan Menteri Muda Urusan Pemuda dan Olahraga Abdul Gafur.

Kegembiraan nampak merajai seluruh anggauta dan pendukung regu Malaysia, hingga kapten Soh Chin Aun dan juga pelatihnya didukung ramai-ramai dengan penuh suka cita. Sebaliknya, pengalungan medali perak di leher tiap pemain Indonesia disambut dingin oleh penonton. Sebagian malah mengejeknya, meski para pemain itu sendiri nampak pasrah dengan kekalahan mereka.

Baik penonton maupun pemain Indonesia memiliki alasan cukup untuk kecewa. Sebab setelah menjuarai turnamen “Jakarta Anniversary Cup” 1972, kesebelasan Indonesia tak pernah lagi memenangkan satu pun turnamen internasional.

Bahkan selama tujuh tahun itu baru dua kali ini mereka mampu mencapai babak final setelah yang pertama dalam pra-Olimpiade Montreal 1976, juga di Jakarta. Baik dalam final tiga tahun lalu itu maupun dalam final SEA Games X kali ini kesebelasan Indonesia ditangani oleh pelatih dari negeri Belanda Wiel Coerver, dan kedua-duanya gagal memberikan gelar juara.

Kacau

Berbeda jauh dari penampilan dalam final pra-Olimpiade 1976, di mana mereka dikalahkan Korea Utara dari adu penalti, permainan Indonesia menghadapi Malaysia kemarin tidak didukung dengan persiapan fisik dan mental yang kuat.

Terutama di babak pertama, bahkan nampak sekali sebagian besar pemain menampilkan permainan yang serba tidak meyakinkan. Kontrol dan umpan serba tanggung, penjagaan lawan terlampau rapuh, hingga lawan mudah sekali mengacaukan serangan mereka, untuk kemudian ganti mengambil alih peranan.

Kelemahan utama Indonesia tetap di lapangan tengah, apalagi karena Rully Nere dan lebih-lebih Rudy Kelces yang ditugasi peran itu bermain jauh dari kemampuan terbaiknya.

Akibatnya frekwensi serangan amat langka. Yang adapun tidak cukup berbahaya untuk pertahanan lawan. Dalam 10 menit pertama hanya tembakan gunting Iswadi dari kotak penalti yang cukup efektif, meski arahnya agak jauh dari sasaran.

Pemainan kacau Indonesia juga menonjol di barisan pertahanan yang kembali dipimpin libero Ronny Pattinasarani dengan kwartet Simson-Wayan-Tinus-Berty di belakangnya. Konsentrasi Ronny nampak terbagi dengan nafsunya ikut membangun serangan, hingga akibatnya lebih merugikan tugas pokoknya sebagai organisator pertahanan.


Gol Mokhtar Dahari
Gol Mokhtar Dahari di menit 17, menamatkan impian Indonesia meraih emas.
Gol Mokhtar Dahari yang memenangkan Malaysia juga awal dari kesalahan Ronny ketika membagi bola tanggung ke arah Simson. Pemain sayap Malaysia Hassan Sani menyambarnya, kemudian mengumpan ke belakang kepada Mokhtar Dahari, dan pemain yang pernah terkenal amat berbahaya ini masih cukup gesit untuk menghindari tackling Tinus sebelum menembak dengan kaki kirinya ke sudut tiang jauh Indonesia. 

Kiper Haryanto pun seperti terpaku di tengah gawang, hingga reaksinya tidak cukup cepat untuk menghadang laju bola. Dalam menit-menit berikutnya Indonesia berhasil memperoleh beberapa peluang untuk membalas, tapi penyelesaiannya melalui Iswadi, Risdianto, Dede Sulaeman dan Rully Nere terlalu lemah kalau tidak salah arah.

Penyerang tengah James Wong bahkan nyaris mencetak gol kedua untuk Malaysia ketika pada menit ke-35 ia dibiarkan bebas menggiring bola ke pertahanan kiri Indonesia. Kiper Haryanto yang segera meninggalkan gawangnya pun gagal menghentikan serangan solo James. Untung, pemain jangkung Malaysia ini tidak cukup matang dalam teknik mengumpan.

Terlambat

Di babak kedua Malaysia tetap bermain dengan taktik pertahanan daerah. Ini memberikan peluang lebih banyak bagi Indonesia untuk menguasai lapangan tengah yang sedikit lebih hidup dengan masuknya Rae Bawa menggantikan Rudy Kelces.

Rae Bawa sendiri pada menit ke-47 sudah langsung coba membobolkan gawang Malaysia dengan tembakan kaki kanan dari jarak jauh. Tapi kiper Hamid Ramli menangkapnya dengan cekatan.

Penghalang utama yang menggagalkan serangan Indonesia adalah pertahanan Soh Chin Aun-Santokh Singh cs yang ibarat tembok karang. Apalagi di depan mereka tidak jarang Mokhtar Dahari dan juga James Wong ikut membantu.


Santokh Singh dan Soh Chin Aun
Santokh Singh dan Soh Chin Aun.
Selain itu, kekompakan kerjasama mereka membuat setiap keberhasilan mematahkan serangan Indonesia dapat langsung dikembangkan menjadi serangan balik yang tidak efektif.

Tembakan keras back kanan Jamal Nasir setelah melakukan overlap bagus pada menit ke-59 misalnya, nyaris menjebolkan gawang Indonesia kalau kiper Haryanto tidak terbang menangkapnya.

Tembakan keras penyerang Abdullah Ali dari sayap kanan ketika kiper Haryanto sudah keluar dari gawangnya pada menit ke-70, juga hampir membuahkan gol kalau Ronny Pattinasarani tidak cepat menggantikan Haryanto dengan menyundul bola jauh ke depan.

Memang, frekwensi serangan Indonesia dan peluangnya mencetak gol lebih banyak, tapi semuanya meleset termasuk tembakan setengah-volley Iswadi pada menit ke-56 yang melintas di atas mistar.

Lebih-lebih menjelang akhir pertandingan, serangan Indonesia makin bertubi-tubi menggedor pertahanan Malaysia. Tapi terlambat, karena Soh Chin Aun cs sudah makin mengunci daerahnya sambil mengulur waktu.

Perwasitan U Thaung Tin dari Burma patut pula disebut sebagai penghalang usaha Iswadi cs. Terutama ketika ia tidak memberikan hukuman penalti meski di depan matanya, Santokh Singh menyentuh bola dalam daerah terlarang.

Tapi yang mungkin lebih tidak mendukung adalah taktik permainan Indonesia sendiri yang tidak menyerang secara “all-out” sejak babak pertama, meski mereka sudah melihat Malaysia sebenarnya membiarkan lapangan tengah terbuka.

Indonesia (4-1-3-2): Haryanto; Simson Rumahpasal, Wayan Diana, Berti Tutuarima, Tinus Heipon; Ronny Pattinasarani; Rudy Kelces/Rae Bawa, Rully Nere/Joko Malis, Dede Sulaiman; Iswadi Idris, Risdianto.

Malaysia (4-4-2): Hamid Ramli; Jamal Nasir, Soh Chin Aun, Santokh Singh, Davendran; Shokur Saleh, Abdah Alif, Mokhtar Dahari, Hasan Sani; James Wong, Abdullah Ali. (Sumohadi Marsis, Kompas Senin 1 Oktober 1979). 

Foto: kompas/rizalhashim

Share:

PSSI Harimau: Namanya Galak, Bagaimana Permainannya?


Bekas pemain tim Pra Olimpiade 1976 -  minus Lukman Santoso, Nobon, Suhatman, Johannes Auri, Robby Binur, Waskito, dan Taufik Lubis yang bernaung di bawah panji PSSI Garuda - kini menyandang nama yang lebih galak: PSSI Harimau.

Diasuh oleh Drs F.H. Hutasoit dan Sinyo Aliandu, kebolehan PSSI Harimau bakal diuji di kaki pemain Stoke City, klub divisi satu Liga Inggris di Stadion Utama Senayan, pekan ini. Adakah PSSI Harimau akan bermain segalak namanya? 

Tampaknya tidak akan demikian. Meski di barisan PSSI Harimau masih tersisa nama beken seperti Iswadi Idris, Risdianto, Andi Lala, Junaidi Abdillah, Anjas Asmara, Suaeb Rizal, Oyong Lisa, dan Ronny Pasla.
PSSI Harimau: Namanya Galak, Bagaimana Permainannya?
Si boncel Iswadi Idris.
Tapi tanpa kehadiran Lukman Santoso, Johannes Auri, Suhatman, dan Waskito, ketimpangan dalam gerak dan kerjasama tim jelas tak terhindarkan. Titik lemah yang nyata kelihatan dalam masalah penunjukkan pemain pada posisi bek kiri. Karena setelah tempat itu ditinggalkan oleh Johannes Auri, belum tampak pemain pengganti yang tepat untuk dibebani tugas tersebut.

Sakit Panas

Melihat keadaan yang rumit itu, Hutasoit seolah dihadapkan pada jalan bersimpang yang ruwet. Di satu pihak, ia dituntut untuk mempertahankan reputasi yang telah dibangun tim Pra Olimpiade dalam pertandingan final, Februari lalu. Di lain pihak, ia terbentur pada persoalan pengisian tempat yang ditinggalkan sebagian pemain.

Kendati di Jakarta masih ada Rahman Halim dan Tinus Heipon yang biasa bertugas di kawasan pertahanan sebelah kiri, namun penempatan mereka itu sulit untuk dapat diharapkan mengimbangi kebolehan Johannes Auri. Membandingkan kedua nama calon pengganti Johannes Auri, pengasuh PSSI Harimau, Hutasoit cenderung untuk memasang Tinus Heipon.

Repotnya, sampai akhir pekan silam, Tinus Heipon masih terserang sakit panas. Kalau pun ia sampai turun, sukar untuk mengharapkan dirinya bermain dalam bentuk yang prima. Di rusuk pertahanan kanan, persoalannya tidak begitu gawat. Sekalipun Sutan Harhara dalam final Pra Olimpiade tak sempat turun karena cedera, kini kebisaannya seolah minta diuji.

Sementara duo banteng yang lain, Suaeb Rizal dan Oyong Lisa pun tak perlu diragukan kelihaiannya. Di lini penghubung, permasalahan yang merisaukan Hutasoit agaknya berkisar dengan belum pulihnya keadaan Junaidi Abdillah. Tapi untuk mengemban tugas itu masih ada Anjas Asmara dan Sofyan Hadi. Sementara di barisan penyerang trio Andi Lala-Risdianto-Iswadi cukup memberi jaminan dalam merobek penjagaan lawan. Dibandingkan dengan ketrampilan ujung tombak PSSI Garuda: Hadi Ismanto-Deddy Sutendi-Waskito. Eksperimen untuk menuntut banyak dari PSSI Harimau terasa agak naif.

Karena pembentukan mereka seakan dipaksakan, guna memenuhi keinginan pimpinan PSSI yang sadar akan kemampuan PSSI Garuda yang masih kepalang tanggung. Sehingga pemain sisa Pra Olimpiade itu buru-buru dibenahi. Dua tim yang berbaju nasional memang telah lahir. Tapi mungkinkah dituntut suatu prestasi yang terbaik dari kedua kesebelasan yang timpang itu? Itulah soalnya.

Seandainya pengurus PSSI berlapang dada melanjutkan keutuhan bekas tim Pra Olimpiade dalam satu bendera, keadaannya jelas akan lain. Sebab bagaimanapun kesebelasan Pra Olimpiade - tentu saja yang utuh - masih mempunyai potensi untuk bisa menjadi tim nasional yang kuat.

Penggalangan banyak tim memang suatu ide yang baik. Tapi dalam keadaan sekarang menuntut kekuatan beberapa tim itu dalam taraf yang sama baiknya sebagai kesebelasan nasional, silakan eksperimen sampai tua. Sepanjang sejarah olah raga dunia saat ini, belum ada satu negara pun yang memiliki dua atau tiga kesebelasan nasional yang terkuat.

Lihat saja Brasil atau Jerman Barat yang memegang supremasi persepak-bolaan dunia saat lalu dan sekarang, tak pernah tampil dengan kesebelasan nasional terkuat yang lebih dari satu. Sebaliknya, dua atau tiga kesebelasan nasional yang sama lemahnya memang gampang dihadirkan. (Tempo 26 Juni 1976)


(foto: twicsy/com/ekosaputro29.mywapblog.com)



Share:

Mino Raiola, Antara Mulut Besar Donald Trump dan Keberingasan Al Capone

Dalam rimba transfer internasional dunia, ketika akan terjadi deal antara pemain, agennya, dan wakil klub, biasanya pertemuan terjadi di restoran mahal tertutup, lobi hotel mewah bahkan di kamar tertutup. Namun khusus kepada orang yang satu ini sulit terlaksana.

Mino Raiola, Antara Donald Trump dan Al Capone

Jika Anda seorang delegasi dari klub atau wakil dari perusahaan apparel ternama, yang datang dengan jas rapih dan licin, maka sulit menduga bahwa mitra yang akan Anda temui sedang menjilati es krim atau tengah sibuk dengan smart-phone-nya. Pria setengah baya ini berambut tipis, rada tambun, dan mengenakan jeans dan t-shirts. Arena pertemuannya juga di ruang terbuka, di lapak-lapak cafe pinggiran jalan.

Dibanding Pini Zahavi, Frank Arnesen, atau Jorge Mendes, apalagi dengan Luciano Moggi, terus terang nama yang satu ini ibaratnya masih bau kencur. Namanya juga sering tertutupi oleh kiprah Darren Dein, Pere Guardiola, Volker Struth, atau Thomas Kroth yang terbilang kompeten dan meyakinkan. Tapi itu dulu. 

Sekarang ceritanya beda banget. Tiba-tiba saja seorang Carmine ‘Mino’ Raiola (50), pria gendut ber-KTP ganda Italia dan Belanda, mampu menyaingi sepak terjang tiga super-agent Jonathan Barnett, Jerome Anderson, atau Barry Silkman. Jadi apa? Sebagai makelar alias calo, atau mak comblang, kurir, juru sambung, biro jodoh di sepak bola atau yang dikenal keren sebagai agen pemain.

Apakah kemampuan Raiola bertujuh bahasa secara fasih; Italia, Inggris, Jerman, Spanyol, Prancis, Portugal, dan tentu Belanda, yang menjadi modal terkuat bakatnya? Boleh jadi. Namun jawaban terkuatnya dan yang sebenarnya adalah kelihaian pergaulannya. Terus terobsesi dengan sepak bola adalah katalisator utama. Dan menjadi pecundang sebagai pemain di waktu mudanya, ditambah dengan latar belakang pekerjaan yang mengharuskan mengenal dan ngoceh dengan banyak orang, lambat laun mengubahnya dari nothing menjadi something bahkan anything.

Makanya sah atau tidak, sekarang ini Mino Raiola dianggap sebagai the most powerful agent in world football. Sebagian lagi melabelinya dengan negosiator ulung yang terlalu cerewet dan bergaya represif. Malahan beberapa media massa dunia yang memelototi hal ihwal sekecil-kecilnya di sepak bola menjulukinya si jenius. Bahkan seorang bekas pesaingnya, yang pernah bertahun-tahun adu ilmu, akhirnya mengakui kehebatan Raiola, lantas mencapnya dengan bombastis sebagai 'Donald Trump'-nya sepak bola dunia. Anda tahu 'kan karakter orang ini?

Dengan deretan klien kelas kakap yang tak asing mendengarnya, sebut saja Paul Pogba, Romelu Lukaku, Henrikh Mkhitaryan, Marco Veratti, Gianluigi Donnarumma, atau Mario Balotelli, jelas bin jelas Raiola punya amunisi hebat nan kuat untuk bertempur atau mengarungi liarnya belantara jual beli sepak bola dunia. Apalagi di masa lalunya, ketika baru menapakkan kaki di dunia agen pesepak bola, dia juga punya referensi yang cukup meyakinkan banyak pihak.

Di sepanjang 1992-1996, dengan beruntun Raiola sanggup menggaet deretan bintang Ajax Amsterdam seperti Bryan Roy (ke Foggia, 1992), Marciano Vink (Genoa, 1993), duet Wim Jonk dan Dennis Bergkamp (Internazionale, 1993) dan Michel Kreek (Padova, 1994). Pemain non-Belanda pertama yang diciduknya masuk ke bumi Serie A adalah Pavel Nedved, dari Sparta Praha ke Lazio dengan rekor transfer.  Malahan di sekali waktu, kiprah pertamanya bergumul di dunia transfer, dipenuhi risiko besar tatkala berani memakelari bintang bengal Frank Rijkaard yang sedang ribut kontrak dengan Ajax Amsterdam.


Mino Raiola, Antara Donald Trump dan Al Capone

Waktu itu Raiola bertugas membawa sang gelandang ke AC Milan pada Januari 1988. Namun karena tak punya jaringan kuat di Serie A yang dipenuhi bandit-bandit ternama jual-beli pemain, Rijkaard justru diparkirnya dulu di klub Liga Primera Portugal, Sporting Lisbon, sebelum ‘dipindahkan’ ke klub La Liga, Real Zaragoza. Apapun yang dilakukan Raiola, Rijkaard setuju saja yang penting asal hengkang dari Ajax. Uniknya, tugas Raiola hanya itu. Ketika Rijkaard akhirnya resmi bergabung ke Milan di 1988/89, dia sudah tidak berkepentingan lagi. Entah kenapa sejak awal Raiola punya jaringan di Portugal. Barangkali  level dan tensi kompetisinya tidak seheboh Serie A atau La Liga.

Sejak berani melakukan apa yang tidak berani dilakukan oleh agen yang sudah punya reputasi pada umumnya, masa depan Raiola bisa dibilang bakalan cerah. Dari bumi Portugal pula pundi-pundinya mulai terisi tatkala dia jadi mak comblang deretan bintang jawara Liga Champion 2003/04, FC Porto. Malahan selain Ricardo Carvalho, Paulo Ferreira, Tiago Mendes, atau Maniche, Raiola juga sukses melicinkan jalan pelatihnya, Jose Mourinho, masuk ke Inggris untuk bergabung ke Chelsea, klub Premier League yang mendadak tajir setelah dibeli Roman Abramovich.

Sekarang 17 klien yang pernah dan sedang digarapnya barangkali hampir Anda dengar. Ada 15 pemain, satu pelatih, dan satu eksekutif klub. Mereka adalah Zdenek Grygera, Zlatan Ibrahimovic, Henrikh Mkhitaryan, Paul Pogba, Romelu Lukaku, Felipe Mattioni, Robinho, Mario Balotelli, Maxwell, Kerlon, Etienne Capoue, Blaise Matuidi, Gregory van der Wiel, Bartosz Salamon, Gianluigi Donnarumma, Moise Kean, Marco Verratti, Martin Jol (pelatih), Pavel Nedved (eksekutif klub).

Masa lalu yang penuh risiko, kerja keras, dan pantang menyerah, kini telah mengubahnya menjadi salah orang yang bisa mempengaruhi kejayaan sebuah klub. Pada 2008 misalnya, dia pernah dua kali diinvestigasi oleh FIGC (PSSI-nya Italia) untuk pelanggaran norma-norma kepatutan dalam mercato.

Walau tinggal di kota termahal biaya hidupnya di Eropa, Monako, namun penampilan Raiola jauh dari perkiraan rata-rata orang. Dia begitu humble, selalu santai bin non-formal, meski dengan jins dan berkaus oblong sering memperlihatkan betapa buncit perutnya. Semakin aneh ketika dia sering menghampiri kliennya dengan memakai training-suite. Memang pria kelahiran Salerno, 4 November 1967 ini tidak butuh penampilan yang fashionable seperti halnya Mendes atau Barnett yang selalu berjas. Yang dibutuhkan, sekaligus yang selalu dibidik adalah deal, closing, alias memastikan kliennya dapat klub baru.


Mino Raiola, Antara Donald Trump dan Al Capone
Darah Napoli

Pikiran tajamnya bagaimana menggangsir uang dari kaki-kaki pesepak bola barangkali terasah sejak jadi anak muda kreatif di akhir 1980-an. Ketika bapaknya, yang orang Italia, bikin restoran pizza dan pasta di kampung istrinya yang Belanda tulen, Raiola langsung kebagian jatah pekerjaan: sebagai pelayan. Di saat yang sama sembari bekerja, dia sempat masuk Fakultas Hukum usai lulus SMA. Tapi akibat keranjingan mencari duit, Raiola pun rela drop-out.

Demi ingin menemukan uang besar dan cepat pula, perjalanan kariernya sebagai pesepak bola amblas. Pada tahun 1987, di usia belia 18 tahun, dia mengajukan diri resign sebagai pemain bola FC Haarlem namun anehnya segera melamar menjadi pelatih tim junior! Tentu saja hal itu jadi tertawaan banyak pihak.

Di restoran yang pangsa pasarnya rada tinggi itu, lama-kelamaan dia keseringan jumpa dan berbasa-basi sekalian nguping obrolan deretan mahluk-mahluk aktif di sepak bola yang kerap menyatroni restoran bapaknya. Bertemulah dia dengan macam-macam orang, mulai dari pemain kapiran sampai bintang hebat, pelatih, eksekutif klub, sampai para makelar. Dia mulai bekerja di Sports Promotions, sebuah perusahaan agen olah raga, dan membantu transfer beberapa pemain Belanda berprofil tinggi ke klub-klub Italia.

Sadar bisa melakukan sendiri lantaran dibayangi oleh keuntungan jauh lebih besar dan bekerja lebih bebas, tak lama berselang dia memutuskan untuk meninggalkan perusahaan dan memulai bisnisnya sendiri. Transfer besar independen pertamanya adalah penandatanganan Nedved dari Sparta Praha ke  Lazio, menyusul penampilannya yang mengesankan di EURO‘96, di mana Republik Ceko mampu menembus babak final.

Dan pada Juli 2017, dia melakoni transfer besar terakhirnya yang kelak akan menguatkan posisi Manchester United ke tangga juar Premier League 2017/18. Sukses ‘memindahkan’ Lukaku dari Everton ke Manchester United dengan harga selangit, 75 juta pound, tak pelak kian menancapkan reputasi Raiola.


Mino Raiola, Antara Donald Trump dan Al Capone

Kejadian di bulan Juli 2017 ini sontak mengubah satu rekor baru transfer sesama klub Premier League. Musim sebelumnya, dia juga sukses memaksa Manchester United merogoh kocek kelewat dalam, 105 juta euro, hanya untuk membeli seorang gelandang enerjik yang dulu dengan gratis dilepehkannya, yang kemudian dicomot Juventus: Paul Pogba.

Pertautan Raiola, Pogba, dan Lukaku dalam kerjasama bisnis dan juga pertemanan yang terbina jauh sebelum kedua transfer top itu terjadi, menyadarkan banyak pihak bahwa relasi yang spesial merupakan kunci rahasia sukses di dunia transfer, terutama buat orang yang bersosialita tinggi macam Raiola.

Coba tengok ke tetangga sebelah, di mana seorang Arsene Wenger justru keseringan gagal mendapat pemain lantaran pembawaan, gaya, dan cara-cara yang formal justru bikin kaku dalam negosiasi. Makanya, dia tidak bakalan cocok duduk satu meja dengan Wenger. Beda pendekatan dan sudut pandang. Bisa dipastikan, tidak ada dan tidak pernah bakal ada pemain Raiola yang main di Arsenal, selama Wenger masih bercokol di sana.

Selain Mkhitaryan (Armenia) dan Balotelli (Italia), Raiola juga menjadi dalang buat deretan wayangnya yang nilainya berbobot; Zlatan Ibrahimovic (Swedia) dan Blaise Matuidi (Prancis). Dua terakhir ini sukses diparkir lama di Paris Saint-German. Beberapa pers Eropa menyebut, di musim 2016/17 Raiola sukses merogoh 40 juta pound uang Manchester United ke kas pribadinya untuk transfer Pogba. Belum lagi fee dari pembelian Ibrahimovic dan Mkhitaryan di saat yang sama. Sementara tiga klub top Eropa yang jadi kliennya adalah AC Milan, Manchester United, Juventus, dan Internazionale.

Potongan fragmen transfer window paling indah yang penuh drama selalu dikenangnya. Nedved, Ibra, Pogba, dan Lukaku. Di usia 50 tahun, Raiola meraih puncak reputasi sekaligus kekayaan dalam karier panjangnya. Siapa sebenarnya Raiola? Asal tahu saja, dia itu dilahirkan dan dibesarkan dari keluarga yang sederhana di Haarlem, Belanda, yang hanya mengandalkan pemasukan rutin dari restoran pizza nan asri bernama Ristorante Napoli.


Mino Raiola, Antara Donald Trump dan Al Capone

“Beberapa pengurus FC Haarlem sering makan pizza, setidaknya sepekan sekali di restoran bapaknya,” sebut Edwin Struis, seorang jurnalis lepas untuk koran lokal di Haarlem awal 1990-an, mulai membuka tabir Raiola.

“Dasar orangnya bawel, dia terus saja ngoceh di hadapan orang-orang yang puluhan tahun mengurusi bola, meski para pendengarnya mungkin pada membatin ‘ah sok tahu’. Akhirnya di suatu kali, karena keseringan berdiskusi dengan orang-orang kapabel, mereka berkata ‘Karena Anda tahu banyak keadaan, kenapa Anda tidak masuk bergabung ke dewan direksi klub saja?” papar Struis menceritakan sebuah kisah yang didengarnya langsung.

Pintu yang terkunci rapat itu pun lama-lama mulai terbuka. Di suatu waktu Raiola beneran bekerja di FC Haarlem sebagai direktur teknik! Dia punya banyak ide liar tapi bagus, terutama untuk kerjasama bakat dan transfer pemain. Klub Italia yang langsung dijalinnya tidak main-main, Napoli! Kenapa Napoli? Selain mereka klub top yang dikenal amat tradisional, juga karena bapaknya berasal dari daerah dekat-dekat sana, tepatnya di kota kecil Nocera Inferiore.

Jadi darah dan jiwa Napolitano masih melekat kuat di tubuh bapaknya dan juga Mino Raiola. Pada tahun 1968, Untuk mengubah nasib lebih cerah, saat baru usia setahun Raiola sudah hijrah alias diboyong kedua orang tuanya ke Belanda untuk menetap di kampung ibunya.
                                                                                       
Pemuja Al Capone

Kelak dalam puluhan tahun ke depan, sang bayi itu berubah wujud menjadi tokoh yang mempengaruhi tren dan kebijakan transfer sepak bola dunia. Dalam otobiografinya yang berjudul “I am Zlatan”, saat bertemu pertama kali Ibrahimovic bahkan menggambarkan karakter Raiola sebagai bentuk nyata dari sosok utama sang gangster mafia Tony Soprano (diperankan oleh James Gandolfini) dalam drama kriminal serial TV yang ditayangkan HBO sepanjang 1999-2007 yaitu The Sopranos.


Mino Raiola, Antara Donald Trump dan Al Capone

Memang tidak salah kalau dia menyukai dan terobsesi pada dunia mobster, yang penuh tipu-tipu, keberingasan, dan kelicikan. Setelah merenggut fee 25 persen senilai 25 juta euro, dari hasil penjualan Pogba dari Juventus ke Manchester United (105 juta euro), Raiola langsung terbang ke Miami, AS, untuk membeli vila milik bandit kriminal legendaris Al Capone senilai 9 juta euro! Pikiran orang semakin jelas memahami kerangka berpikir, bahkan visi-misi seorang Raiola bilamana dia jelas-jelas mengidolai Al Capone.

Pada kenyataannya memang hingga detik ini hidup Raiola tetap dipenuhi risiko dakwaan kriminal dan penjara. Konsorsium media The Football Leaks pernah menelanjangi pelanggaran hak cipta Raiola atas foto-foto ekslusif Pogba yang dijual untuk kepentingan pribadi. Untuk sementara para pengacara Raiola sukses membekukan kasus ini.

Cara-cara Raiola yang amat tendensius untuk menaikan ‘harga’ kliennya, sekaligus memojokkan siapa saja yang coba menggagalkan tujuannya juga patut dicela. Kerapkali lantaran paham bola secara teknis, Raiola sering mengkritik strategi transfer bahkan teknik permainan sebuah klub! Tak urung hal ini suka melahirkan berbagai kemarahan dan rasa tidak simpati kepadanya.

Lima tahun silam, Barcelona pernah nyolot dan mengancam memutuskan hubungan bisnis dengannya akibat tersinggung berat. Pasalnya di depan media massa, Raiola mengkritik pelatih Pep Guardiola yang dibilangnya tidak bisa memahami gaya main dan karakter Ibrahimovic. Orang pantas terkesima, rupanya kegagalan Ibra di Barca bukan dari kegagalan memahami tiqui-taka, melainkan lebih banyak disebabkan provokator agennya. Di Barca, waktu itu Ibrahimovic memang sama sekali tidak berkembang.

Barangkali di mata Raiola klub sebesar dan sehebat Barcelona pun dianggap kecil bila mau berperang. Luar biasa. Ada alasan? Tentu saja. Pertama dia punya pengalaman ‘berkelahi’ dengan dedengkot El Barca, yaitu almarhum Johan Cruijff, sewaktu masih berkecimpung menangani sepak bola Belanda di klub Haarlem. Apa yang diucapkan Raiola kepada Cruijff bikin mata orang melotot dan menggemparkan Belanda. Oleh Raiola, sang legenda nomor satu negeri itu dibilang ‘gila’ karena coba memperjuangkan setiap mantan pemain mendapat pekerjaan di industri sepak bola.

Meski kemudian dia meminta maaf langsung kepada Cruijff, namun sejak itu secara seketika Raiola kehilangan teman, kehormatan, relasi, dan pekerjaannya. Sepak terjang masa lalu Raiola memang sekedar kenangan belaka. Namun apapun yang salah dari tindak-tanduk, keputusannya, mulai sekarang atau besok, mampu mengguncangkan keindahan kariernya, bahkan jalan hidupnya. Namun mantan agen Pogba, yakni Gael Mahe, menyebut Raiola itu seorang jenius dalam urusan kesepakatan.


Mino Raiola, Antara Donald Trump dan Al Capone

“Dia adalah Donald Trump-nya sepak bola, seorang bermulut besar (banyak omong) akan tetapi tahu bagaimana cara menjual dan sukses membangun gedung pencakar langitnya sendiri (Trump Plaza). Sekarang para pemainnya memiliki nilai yang hampir sama dengan gedung-gedung di Manhattan,” lanjut Mahe tanpa tedeng aling-aling.

Masih belum puas memahami aneka tingkah polah dan bagaimana gumpalan ambisi seorang Raiola? Seorang klien yang sangat disayanginya, Ibrahimovic, memuji setinggi langit orang yang menjadi keran uangnya. “Apakah saya harus mengeja namanya di sini? Mino adalah seorang yang jenius,” tukas pesepak bola dengan penghasilan terbanyak keempat di dunia setelah Cristiano Ronaldo, Lionel Messi, dan Neymar Junior ini. (Arief Natakusumah)


TRANSFER BESAR MINO RAIOLA

Waktu
Pemain
Klub Baru
Klub Lama
Nilai Transfer
Januari 1988
Frank Rijkaard
AC Milan
Sporting CP
Tak terlacak
Juli-Agt 1993
Dennis Bergkamp
Internazionale
Ajax
£12 juta
Juli-Agt 2001
Pavel Nedved
Juventus
Lazio
£35 juta
Juli-Agt 2004
Zlatan Ibrahimovic
Juventus
Ajax
£14 juta
Juli-Agt 2006
Zlatan Ibrahimovic
Internazionale
Juventus
£21 juta
Juli-Agt 2009
Zlatan Ibrahimovic
Barcelona
Internazionale
£59 juta
Juli-Agt 2010
Robinho
AC Milan
Manchester City
£15 juta
Juli-Agt 2010
Mario Balotelli
Manchester City
Internazionale
£24 juta
Juli-Agt 2010
Zlatan Ibrahimovic
AC Milan
Barcelona
Sewa (£20 juta)
Juli-Agt 2012
Zlatan Ibrahimovic
Paris Saint-Germain
AC Milan
£18 juta
Januari 2013
Mario Balotelli
AC Milan
Manchester City
£17 juta
Juli-Agt 2014
Mario Balotelli
Liverpool
AC Milan
£16 juta
Juli-Agt 2016
Zlatan Ibrahimovic
Manchester United
Paris Saint-Germain
Gratis
Juli-Agt 2016
Henrikh Mkhitaryan
Manchester United
Borussia Dortmund
£31 juta
Juli-Agt 2016
Paul Pogba
Manchester United
Juventus
£110 juta
Juli-Agt 2016
Mario Balotelli
Nice
Liverpool
Gratis
Juli-Agt 2017
Romelu Lukaku
Manchester United
Everton
£78 juta
Share:

Artikel Populer

Maurizio Sarri: Tantangan Baru Si Mantan Bankir

Buat tifosi Napoli yang militan dan fanatik, begitu melihat jagoannya cuma meraup dua poin dari tiga laga jelas bikin dongkol selain gundah...

Arsip

Intermeso

Wawancara

Arsip

Artikel Terkini